Keikhlasan hati, kebersihan hati nurani, kesucian jiwa, ketulusan kata-kata, dan amanah dalam menunaikan tugas, semuanya itu merupakan akhlak mulia. Untuk menyempunakan akhlak itulah Rasulullah saw diutus agar setiap orang menjadi batu bata bagi pembangunan masyarakat yang baik.

Sepanjang masa, pada setiap umat, pasti selalu ada orang-orang shalih, para hamba yang zuhud, atau para da’i yang ikhlas. Bahkan pada bangsa seburuk apa pun, tidak mungkin kosong dari orang-orang yang apabila disebut nama Allah begetarlah hatinya, mengenal Allah dan memiliki akhlak terpuji.
Namun, dinamika sejarah dan pertumbuhan peradaban bukanlah ditinjau dari semata-mata keberadaan pribadi-pribadi yang memiliki akhlak seperti itu, betapapun tinggi keshalihan, ketakwaan, dan pemahaman mereka terhadap berbagai persoalan. Yang menjadi ukuran justru adanya harakah jama’iyyah (gerakan kolektif) dan keshalihan yang bersifat masif sehingga menjadi arus kuat lagi tangguh yang mempunyai pengaruh terhadap arus-arus lainnya dan bukannya terpengaruh.
Tidak ada maksud meremehkan arti amal fardi (kerja personal) dengan segala sifat terpuji yang dimilikinya. Namun, sesuai dengan kebenaran yang kita anut, adalah termasuk orang yang merugi jika seseorang yang ikhlas tidak berusaha untuk mengubah dakwahnya menjadi arus massal yang dihasung oleh orang-orang shalih seperti dirinya, yang berpegang teguh kepada tali Allah sehingga menjadi bagaikan satu hati, dalam satu jamaah. “Demi masa. Sesungguhnya manusia ifu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”(QS. Al Ashr, 103: 1-3) Nah, yang dikecualikan dari kerugian adalah jamaah yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran, dan bukannya individu, betapapun shalihnya.
Jika ada orang yang mengatakan, “Saya bisa memberlakukan Islam untuk diri saya. Saya tidak melakukan kezaliman, tidak berzina, tidak mabuk, tidak melakukan praktik riba, saya mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, melaksanakan haji, menunaikan segala kewajibanku yang bersifat personal, dan saya menyeru orang lain kepada hal-hal itu, dan kemudian saya berlalu.”
Kita katakan, “Itu bagus. Akan tetapi, orang yang melakukan hal itu persis seperti orang memilih batu-bata dengan sangat pandai, kemudian meningkatkan kualitasnya dengan dimulai dari diri sendiri, seraya mengajak orang lain untuk hal itu. Akankah kita menyebut batu-bata yang berserakan itu, betapapun masing-masingnya memiliki kualitas yang baik untuk sebuah bangunan, sebagai gedung bertingkat atau gedung pencakar langit, jika tidak pernah ditata dan satu sama lain saling menguatkan?”
Begitulah kondisi dakwah secara personal. Lalu bagaimana kita bisa mengaplikasikan sistern politik, sistern ekonomi, sistern sosial, sistern pendidikan, dan siapa yang menegakkan sanksi? Siapa yang menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman? Siapa yang menegakkan hukum halal dan haram’? Siapa yang mengatur urusan sarana usaha? Siapa yang memimpin umat, menyebarkan dakwah, dan menghadapi serangan musuh? Dan seterusnya.
Jika kaum Muslimin tidak berusaha untuk mewujudkan itu semua dalam kehidupan nyata mereka dan merasa cukup dengan ibadah-ibadah ritual belaka, maka mereka akan terjerembab ke dalam perbenturan keyakinan, padahal mereka mendengar firman Allah:
“Apakah kalian mengimani sebagian kitab dan menolak sebagian lain? Maka tiada balasan hagi orang yang melakukan hal itu selain kehinaan di dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dicampakkan ke dalam siksa yang amat dahsyat. Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al Baqarah, 2: 85)
Mereka juga mendengar peringatan Allah dalam AlQuran terhadap Rasulullah saw:
“Dan hati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu.” (Qs. Al Maaidah, 5: 49)
Jadi tidaklah cukup adanya individu-individu yang ikhlas dan tulus di sana sini, yang bekerja untuk Islam dalam keadaan tercecer. Walaupun tentu saja pekerjaan mereka bermanfaat dan menjadi tabungan kebaikan di sisi Allah. Sebab, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang bekerja baik laki-laki maupun perempuan. Dan setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang dia lakukan, sesuai dengan niat dan profesionalitasnya. Firman Allah:
“Maka barang siapa melakukan kebaikan meskipun sebesar biji sawi maka ia akan melihatnya.” (Qs. Al Zalzalah, 99: 7)
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi meskipun banya sebesar biji sawi.” (Qs. An-Nisaa’, 4: 40)
Akan tetapi, amal fardi, pada realitas umat kontemporer, tidak cukup kuat untuk mengisi pos-pos kosong dan mewujudkan tujuan yang dicita-citakan. Harus ada amal jama’i (kerja kolektif). Dan ini merupakan tuntutan agama sekaligus tuntutan realitas.
Islam Menyeru kepada Jamaah
Islam menyerukan berjamaah dan membenci kesendirian: tangan Al-lah bersama jamaah; barang siapa yang nyeleneh, maka ia akan nyeleneh pula di dalam neraka; serigala hanya akan menerkam kambing yang menyendiri; tidak sah shalat sendirian di belakang atau di depan shaf; orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan; tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa merupakan salah satu kewajiban dalam Islam; dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah salah satu syarat untuk selamat dari kerugian di dunia dan akhirat.
Realitas kehidupan menegaskan bahwa kerja yang produktif adalah yang dilakukan secara jama’i (kolektif). Lihat saja, tangan sebelah tidak dapat bertepuk tangan. Dan seseorang adalah sedikit dengan dirinya sendiri tapi menjadi banyak bersama kawan-kawannya, lemah bila sendirian dan kuat dengan jamaahnya. Kerja-kerja besar tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan tenaga besar. Dan pertarungan sengit tidak dimenangkan kecuali dengan bergandeng tangan dan saling topang kekuatan, sebagaimana firman Allah swt:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan berbaris bagaikan bangunan yang kokoh.” (Qs. As-Shaff, 61: 4)
Ayat itu menegaskan bahwa kekuatan yang memusuhi Islam dan umatnya tidaklah bekerja secara personal dan bukan pula kelompok-kelompok yang tercecer. Mereka bekerja dalam sebuah sistern dengan disiplin tinggi. Mereka mempunyai struktur organisasi, pemimpin lokal dan pemimpin intenasional. Karenanya, kita wajib memerangi mereka dengan cara seperti mereka memerangi kita. Kita tidak boleh melawan meriam dengan tongkat, panser dengan kuda atau keledai. Sebagaimana tidak bolehnya kita menghadapi amal jama’i musuh dengan amal fardi dan kerja yang sistemik dengan kerja serabutan. Sebab, kekacauan tidak akan mungkin mengalahkan sistern. Individu tidak akan mengalahkan jamaah. Dan kerikil tidak akan mengalahkan gunung.
Al Quran mengingatkan kita dengan ayatnya:
“Dan orang-orang kafir sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian lain. Jika kalian tidak melakukan hal seperti itu (dalam kebersamaan) maka akan terjadilah mala petaka di muka bumi dan kerusakan yang yang dahsyat.” (Qs. Al Anfaal, 8: 73)
Makna “illaa taf’aluuhu” dalam ayat di atas adalah, jika sebagian kalian tidak membantu dan menopang sebagian lain, maka akan terjadi bencana dan kerusakan yang lebih besar dari sekadar berhimpunnya kekuatan kafir dan bercerai berainya kekuatan Islam. Kebatilan merajalela dan kebenaran hancur lebur. Dan itulah bahaya besar dan kejahatan yang tengah mengancam.
Amal Jama’i yang Sistemik
Amal jama’i haruslah sistemik, berpijak di atas qiyadah (kepemimpinan) yang bertanggung jawab, basis yang kokoh, persepsi yang jelas, yang mengatur hubungan antara qiyadah dengan prajurit (junud) atas dasar syura (musyawarah) yang mengikat, dan ketaatan yang penuh kesadaran serta pemahaman.
Islam tidak mengenal jamaah yang tanpa sistern. Sampai-sampai jamaah kecil dalam shalat saja diatur oleh sebuah sistern. Misalnya bahwa Allah tidak akan melihat kepada shaf (barisan) yang bengkok; shaf harus rapat, tidak boleh membiarkan ada celah di dalam shaf, sebab setiap celah akan diisi oleh syaitan; bahu seseorang berdekatan dengan bahu saudaranya, kaki dengan kaki; sama dalam gerakan dan penampilan. Seperti kesamaan dalam akidah dan orientasi.
Imam harus meluruskan shaf dibelakangnya sampai rapat dan bersambung. la harus menasihati para makmum untuk melunakkan tangan-tangan terhadap saudaranya. Jadi, jamaah membutuhkan kadar tertentu kelembutan dan fleksibilitas agar terjadi harmoni dalam barisan.
Setelah itu, wajib taat kepada imam. “Imam itu diangkat tidak lain kecuali untuk ditaati. Apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kalian. Apabila ia rukuk, maka rukuklah kalian. Apabila ia sujud, maka sujudlah kalian. Dan apabila ia membaca maka dengarkanlah.”
Tidak sah bila seseorang melenceng dari shaf dan mendahului imam. Misalnya dengan rukuk sebelum imam rukuk, atau sujud sebelum imam sujud. Kemudian membuat penyimpangan dalam bangunan yang tertata itu. Siapa yang melakukan hal itu, maka dikhawatirkan akan Allah ganti kepalanya dengan kepala keledai. Akan tetapi, jika si imam itu salah, maka kewajiban para makmum adalah mengingatkan dan mengoreksi kesalahannya. Baik karena keliru maupun karena lupa. Baik kekeliruan itu terjadi dalam ucapan atau perbuatan; baik pada bacaan atau pada rukun shalat lainnya. Sampai-sampai kaum perempuan yang berada pada shaf yang jauh saja pun dianjurkan untuk bertepuk tangan untuk mengingatkan imam yang keliru itu.
Itulah miniatur sistern jamaah islamiyyah. Dan begitulah seharusnya hubungan antara pimpinan dengan prajurit. Pemimpin bukanlah orang yang terpelihara dari kesalahan. Makanya tidak boleh taat secara buta. Begitulah pemahaman kita tentang Islam. Dan untuk menegakkan pemahaman itu harus ada amal jama’i yang sistemik.
Perhatian Islam terhadap seseorang secara personal tidak lain adalah dalam rangka mencetaknya menjadi batu-bata jamaah yang berkualitas tinggi, yang akan mampu mengemban segala beban dakwah, berjihad untuk membelanya.
Oleh karena itu, seluruh ibadah dalam Islam bersifat kolektif atau paling tidak menyerukan kepada jamaah. Shalat berjamaah misalnya, lebih utama 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian. Shalat Jumat tidak sah kecuali bila dilaksanakan secara berjamaah. Demikian pula Shalat ‘Idain, bahkan sampai-sampai qiyamur-ramadhan pun dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah.
Zakat dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir. Sehingga terjalinlah antara mereka kasih-sayang dan hilanglah kedengkian serta sikap mementingkan diri sendiri. Dan itu pun mendukung terbentuknya jamaah. Puasa juga mendorong orang-orang kaya untuk mengasihi orang-orang miskin. Maka terwujudlah persatuan dan saling mencintai. Haji pun merupakan kewajiban yang dilaksanakan secara jama’i. Semua orang yang sedang melaksanakannya sama dalam hal pakaian dan perbuatan. Mereka sama-sama meninggalkan dunia dan menghadap kepada Allah. Lalu hati mereka menjadi berpadu, perasaan mereka menyatu, dan ikatan ukhuwah semakin kuat. Maka menjadi kuatlah ikatan jamaah.
Demikian pula jihad harus dilakukan oleh kaum Muslimin secara bershaf bagaikan bangunan yang kokoh. Maka Allah meridhai mereka dan mereka juga ridha kepada Allah. Jadi, seluruh ibadah mendukung terwujudnya jamaah dan mengokohkan ikatan di antara para anggotanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhumya.
Kesempurnaan Ikhlas dengan Jamaah
Amal jama’i adalah pesan Rasulullah kepada kaum Muslimin. Sabdanya:
“Tangan Allah beserta jamaah dan siapa yang menyendiri, menyendiri pula di dalam neraka.” (At-Tirmidzi)
Sabdanya pula:
“Kalian harus berjamaah. Sebab serigala banya akan memangsa kambing yang menyendiri.” (HR. Ahmad)
“Siapa yang menginginkan naungan surga maka hendaklah ia berpegang teguh dengan jamaah.” (At-Tirmidzi)
Tentang jamaah, ‘Abdullah Bin Mas’ud mengatakan,
“Ia adalah tali Allah yang kuat yang Dia perintahkan untuk memegangnya. Dan apa yang kalian tidak sukai dalam jamaah dan ketaatan adalah lebih baik dari apa yang kamu sukai dalam perpecahan.”’
‘Ali Bin Abi Thalib mengatakan, “Kekeruhan dalam jamaah lebih haik dari pada kebeningan dalam kesendirian.”
Jamaah – seperti sudah dijelaskan – yang terdiri dari anggota, pemimpin, dan manhaj menumbuhkan umat yang memerintahkan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Dan kemenangan jamaah adalah merupakan janji Allah yang pasti terjadi.
“Dan sesungguhnya tentara Kami, mereka itulah yang akan menang.” (Qs. Ash-Shaffaat, 37: 173)
“Dan siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya kelompok (pendukung) Allah itulah yang akan menang.” (Qs. Al Maaidah, 5: 56)
Islam adalah agama yang harus dilaksanakan oleh individu-individu. Dari situ kemudian mereka membentuk jamaah yang bergerak bersama pemimpin yang menjadi pelopor dalam mengemban tugas, dan bertekad untuk bekerja secara ikhlas tanpa henti siang dan malam. Sebagaimana yang dikatakan Umar Bin Khaththab kepada Mu’awiyah Bin Khadij yang mengunjunginya guna menyampaikan berita gembira tentang penaklukan
Iskandariyyah, “Jika aku tidur di siang hari berarti aku menelantarkan rakyat. Dan jika aku tidur di malam hari berarti aku menelantarkan diriku. Lalu bagaimana pula jika aku tidur di kedua waktu itu, wahai Mu’awiyah?”‘
Islam adalah agama yang yang dianut oleh segala usia dan kalangan. Orang dewasa tetap memegang teguh Islam hingga meninggal dunia. Anak kecil terus teguh hingga ia menjadi tua. Orang non-Arab menjadi fasih dengan Islam. Dan orang Arab berhijrah dengan dorongan agama itu pula. Mereka yakin tidak ada kebenaran selain Islam. Dia bukanlah agama yang hanya bisa sebatas mengatakan kepada orang yang melakukan kesalahan, “Jangan kamu lakukan kesalahan." Lebih dari itu, Islam mempersiapkan bagi orang yang melakukan kesalahan sebuah masyarakat dan jalan untuk membantunya memperbaiki diri dan tolong menolong dalam kebaikan serta ketakwaan. Agar kata-kata mewujud menjadi perbuatan dan teori berubah menjadi aplikasi. Adakah hal itu bisa terwujud oleh seseorang – betapapun ia ikhlas dalam ibadah – ataukah harus dengan jamaah yang kokoh dan kuat?
Nah, bangunan jamaah itu tidak akan sempurna tanpa adanya ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), dan takaful (solidaritas) yang mengaplikasikan tolong-menolong yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan jamaah yang luhur dengan semangat ukhuwah dan tekad baja.
Untuk hikmah yang tinggi itulah Allah menjadikan seluruh umat Islam sebagai umat dakwah. Manakala Allah swt mengutus Muhammad saw kepada umat ini dan kepada seluruh manusia, maka umatnya pun diutus untuk seluruh manusia. Oleh karena itu ketika Rustum bertanya kepada Rib’i Bin ‘Amir, "Untuk apa kamu datang kemari?” ia segera menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan orang yang mau agar keluar dari penyembahan terhadap sesama manusia menuju penyembahan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.” Itu disebabkan karena Rasulullah saw mengatakan kepada kaum Muslimin, “Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku walaupun hanya satu ayat.” Mereka adalah orang-orang yang menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Jadi, keikhlasan yang dimiliki oleh seorang Muslim bukanlah untuk dirinya sendiri. Meskipun tentu saja sebagai individu ia mendapatkan pahala. Keshalihan dan keikhlasan seorang Muslim yang hanya untuk dirinya saja adalah bagaikan air yang thahir (suci). Dzatnya suci tapi tidak dapat mensucikan yang lainnya. Sedangkan Islam menghendaki Muslim itu menjadi thahuur dan bukan sekadar thahiir. Supaya, selain dirinya suci, juga dapat mensucikan orang lain.
Jadi memang harus ada “batu-bata” yang shalih yang memiliki akhlak Islam. Sebab tidak akan ada kepaduan, ikatan, kecintaan, tolong-menolong, itsar (sikap mengutamakan kepentingan orang lain), dan akhlak utama lainnya – yang menunjukkan keikhlasan, dan tidak akan terwujud harmoni sosial kecuali bila ada kesatuan akhlak dan kesamaan di antara para anggota dalam hal perilaku, orientasi, dan pemahaman. Kesemua itu tidak akan terwujud kecuali dalam bingkai jamaah yang mengarahkan untuk melaksanakannya.
Orang-orang yang memahami Islam sebagai semata-mata ibadah lahiriah, yang jika mereka melaksanakan atau melihat orang melaksanakanny sudah merasa puas dan menduga bahwa itu adalah esensi Islam, tidak lebih dari itu, bagaimana ia akan merasakan wajibnya amal jama’i. Demikian pula dengan orang-orang yang tidak memandang Islam selain sebagai akhlak mulia, spiritual yang agung, konsumsi filosofis yang merangsang akal dan ruhani serta menjauhkan keduanya dari debu-debu materi. Mereka juga tidak akan mempercayai pentingnya amal jama’i. Adapun orang-orang yang meyakini bahwa Islam adalah manhaj kehidupan, mereka itulah yang percaya wajibnya amal jama’i.
Begitulah kita memahami Islam secara sempurna lagi integral sebagai risalah tarbiyah dan manhaj kehidupan yang jauh dari kebekuan orang-orang yang beku, dari kelonggaran orang yang menghalalkan segala cara (permisivisme) dan dari keruwetan para filosof. Tidak ada sikap ekstrem dan tidak sikap abai, dengan tetap memegang teguh Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya serta sirah salafus-shalih. Dengan hati yang jujur, orang-orang mukmin akan menyerap dari Al Quran dan Sunah itu Islam sebagai akidah, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, akhlak, materi, toleransi, kekuatan, tsaqafah, dan perundang-undangan.
“Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (Qs. Al Baqarah, 2: 143)
Untuk pemahaman itu kita ikhlas. Islam – sebagaiman kita pahami – adalah agama jamaah, yang mendidik setiap individu untuk menjadi mushlih’ dan bukan sekadar shalih (shalih).
“Dan sekali-kali Rabbmu tidak akan menghancurkan negeri-negeri secara zalim padahal penduduknya melakukan perbaikan.” (Qs. Huud, 11: 117)
“Dan Allah mengetahui orang yang merusak dari orang yang melakukan perbaikan.” (Qs. Al Baqarah, 2: 220)
Orang yang shalih – dalam pemahaman kita terhadap Islam – adalah termasuk kontributor dalam kemungkaran jika ia diam. Lalu manfaa t apa yang bisa dirasakan oleh masyarakat dengan keshalihannya bila ia tidak turut membantu saudaranya untuk mewujudkan masyarakat yang baik. Sesungguhnya orang yang tidak mengatakan kebenaran adalah syaitan bisu. Allah swt mengingatkan:
“Dan takutlah kalian akan sebuah bencana yang akan menimpa bukan banyak orang-orang yang zalim di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah amat dahsyat sikasaan-Nya.” (Qs. Al Anfaal, 8: 25)
Karenanya, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “Akankah kita dibinasakan padahal di tengah-tengah kita ada orang-orang shalih?” Rasulullah saw menjawab, “Jika keburukan itu telah menjadi dominan.”
Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika kesalahan tersembunyi, maka ia tidak akan membahayakan selain pelakunya. Tapi, jika kesalahan telah merajalela dan tidak diberantas, maka itu akan membahayakan orang banyak.” (HR. At-Tirmidzi)
Amal jama’i yang sistemik bertumpu pada 3 (tiga) hal:
•   Pimpinan yang ikhlas (qiyadah).
•   Basis, yakni individu-individu yang satu sama lainnya berpadu secara ikhlas (jamaah).
•   Minhaj dengan pemahaman yang gamblang (dakwah).
Hubungan di antara ketiganya dibangun berlandaskan atas syura (musyawarah) yang wajib dan mengikat, taat yang disertai pemahaman, ikhlas kepada Allah dalam menjalankan apa yang dipahami dan dalam ber-harakah. Jika keikhlasan hilang dari mereka, maka mereka tak ubahnya bagaikan perhimpunan lainnya yang hanya terbentuk di atas asas kepentingan pribadi dan bukan lagi merupakan jamaah dengan segala tonggak, karakteristik, tujuan-tujuan, dan sarana-sarananya. Bukan lagi jamaah yang dapat memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah. Dan ia bukan lagi merupakan jamaah yang dapat mewujudkan superioritas dalam hidup, dan membimbing manusia ke jalan yang benar, sebagaimana yang Allah firmankan:
"Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (Qs. Al Baqarah, 2: 143)
Anda dapat bayangkan sebuah jamaah yang memiliki ciri-ciri seperti itu dan mewujudkan apa-apa yang disebutkan di atas itu. Jamaah yang menyadari besarnya risalah yang dihasungnya dan percaya penuh akan
pertolongan Allah. Tidak diragukan bahwa para anggota jamaah itu akan dipersatukan hatinya oleh Allah.
“Dan Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al Anfaal, 8: 63)
Dan kemenangan yang Allah janjikan akan mereka raih:
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih bahwa Dia akan mengangkat mereka sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana Dia telah mengangkat orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah dan pasti Dia akan kokohkan hagi mereka agama mereka yang Dia ridhai dan Dia akan menggantikan untuk mereka rasa takut menjadi rasa aman, mereka beribadah kepada-Ku dengan tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku.” (Qs. An-Nuur, 24: 55)
Maka dari itu kaum Muslimin setelah Rasulullah saw wafat bersepakat untuk mencari siapa yang akan menggantikan beliau guna menjaga agama ini, melangsungkan dakwah, memelihara keamanan, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
‘Ali Bin Abi Thalib – semoga Allah meridhainya – mengatakan, “Manusia harus mempunyai imarah (kepemimpinan) yang shalih maupun durhaka.” Seseorang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, kalau pimpinan yang shalih kami mengerti, tapi bagaimana dengan pimpinan yang durhaka?” Ia menjawab, “Dengan imarah itu hukum pidana ditegakkan, jalan diamankan, musuh dilawan, dan harta rampasan perang dibagikan.”
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mengangkat imam telah diketahui kewajibannya dalam syariat berdasarkan ijma’ sahabat dan tabi’in dan tidak ada seorang pun yang berpandangan berbeda dari itu. Sedangkan Imam Juwaini mengatakan bahwa pengangkatan imam berpijak di atas landasan ijma‘ yang kokoh. Imam As-Sihristani mengatakan bahwa Abu Bakar Shiddiq, setelah khutbah di Saqifah Bani Sa’idah, mengatakan, “Harus ada orang yang menegakkan agama ini." Maka orang-orang berteriak dari berbagai sudut, “Anda benar wahai Abu Bakar." Hal seperti itu disampaikan pula oleh Imam Al Mawardi. “Imamah ditegakkan untuk menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia.” Benarlah perkataan seorang ulama, “Agama itu pangkal dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak punya pangkal maka akan hancurlah ia. Dan apa-apa yang tidak mempunyai penjaga maka ia akan lenyap.”
Nah, untuk mewujudkan tujuan yang ingin kita capai itu, maka kita harus menentukan tujuan yang harus dicapai oleh jamaah, yakni: individu Muslim, keluarga Muslim, masyarakat islami. Karenanya, jamaah yang menyerukan pada pemahaman seperti disebutkan di atas itu, dengan langkah-langkah ta’rif (memberikan pemahaman), takwin (pembentukan), dan tanfidz (aplikasi), dialah jamaah yang menjalankan kewajiban. Sebab, sesuatu yang membuat kewajiban menjadi tidak sempurna bila ia tidak ada, maka “si suatu” itu hukumnya wajib.
Tiada Islam tanpa jamaah. Tidak ada jamaah tanpa imarah (kepemimpinan). Dan tidak ada imarah tanpa ketaatan. Sebab, Islam adalah sistern dan ketaatan. Dalil yang paling kuat untuk itu adalah adanya seruan yang bersifat jama’i dalam Al Quran, “Wahai orang-orang yang beriman.” Dan bahkan awal surat Al Baqarah menegaskan bahwa orang-orang yang akan mendapatkan petunjuk adalah al muttaqin (dalam bentuk jamak: orang-orang yang bertakwa) bukan al muttaqi (dalam bentuk tunggal: seorang yang bertakwa). “Itulah kitab (Al Quran), merupakan petunjuk hagi orang-orang yang bertakwa.” Kemudian Allah swt menyebutkan sifat-sifat mereka, “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” Semua itu menunjukkan sifat kolektif, seperti yang Anda lihat. Bahkan Allah swt mengingatkan kita tentang nilai kebersamaan itu dengan ungkapan yang kita ulang-ulang setiap shalat, “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan banya kepada Engkau kami mohon pertolongan.” Di situ digambarkan beribadah dan mohon pertolongan dalam kebersamaan.
Itu semua logis belaka, sebab ibadah dengan maknanya yang utuh tidak akan terwujud melainkan dengan secara bersama-sama beribadah dan memohon pertolongan. Bahkan,.hidayah itu sendiri tidak akan sempurna tanpa jamaah. Karenanya kita mengatakan, “Berilah kami petunjuk” dan bukannya “Berilah aku petunjuk”. Sebab memang hidayah yang sejati dan sempurna yang diberikan Al Quran hanya akan terwujud dengan jamaah. Itulah sebabnya, kabar gembira juga berlaku untuk orang-orang mukmin dalam kebersamaannya dan bukan dalam kesvnd iriannya.
Sebenarnya, ketika kita mengatakan bahwa Islam adalah agama jamaah, maka pemahaman itu sendiri adalah bagian dari agama. Dan seharusnya pemahaman itu menjadi salah satu tsawabit jamaah manapun yang menyerukan kepada Islam.
Pemahaman bahwa Islam adalah agama jamaah itu sendiri merupakan tsawabit Islam. Persepsi itu menyerukan untuk mempraktikkan tatanan dalam jumlah sekecil apa pun, sekalipun ia berada dalam perjalanan (safar). Jika ia melakukan perjalanan sendirian maka temannya adalah syaitan. Dan jika jumlahnya lebih dari satu, meskipun hanya tiga orang, maka wajib diangkat seorang pemimpin dari dan untuk mereka. “Jika kalian bertiga maka angkatlah salah seorang di antara kalian sebagai amir.” (Hadits Hasan riwayat Abu Dawud). Apatah lagi dengan orang yang ingin menghidupkan umat, dan membuat sebuah peradaban. Bukankah ini lebih membutuhkan penataan yang akurat dan amir jamaah yang ditaati?
Tidak diragukan lagi bahwa bila keimanan para anggota kuat, maka akan kuat pula jamaah itu dan akan mampu mencapai apa yang dicita-citakan. Sebaliknya, bila keimanan para anggotanya lemah, barisan akan bercerai-berai. Sebab, lemahnya iman akan mengakibatkan kerancuan konsep, dan munculnya kecenderungan hati terhadap kepentingan duniawi. Di antara kecenderungan duniawi yang dapat menghambat perjalanan jamaah adalah harta, anak, istri, senang bersantai-santai, putus asa, takut, loyo, semangat yang berlebihan, dan tidak adanya loyalitas.
Nah, sudah jelas bagi kita bahwa amal jama’i adalah wajib bagi kaum Muslimin. Jika demikian, maka sarana yang dapat mengantarkan pada terlaksananya kewajiban itu adalah wajib. Karenanya, propaganda yang menyerukan tidak pentingnya amal jama’i adalah propaganda untuk melemahkan dan memecah belah kaum Muslimin. Padahal, zaman sekarang ini masanya orang membuat perkumpulan, atau koalisi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Maka, apatah lagi Islam yang memandang jamaah sebagai keimanan dan perpecahan adalah kekafiran.
Nilai jamaah pada jiwa seseorang tidak akan sempurna kecuali terwujud lima hal:
•   Bangga dengan her-intima (afiliasi) dengan jamaah itu.
•   Merasa tenteram dengan keberadaan dirinya di dalam jamaah itu.
•   Jamaah itu mewujudkan atau akan mewujudkan segala cita-cita keislamannya.
•  Setiap anggota pada jamaah tersebut berkontribusi kepada jamaahnya dan jamaah pun membantunya; ia menopang jamaah tersebut dan jamaah pun mendukungnya.
• Seseorang menjadi berarti dengan jamaah dan bukan dengan yang lainnya, sedangkan jamaah itu walaupun tidak ditegakkan oleh dia pasti ditegakkan oleh orang lain. Firman Allah swt:
“Dan jika kalian berpaling maka niscaya Allah akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu.” (Qs. Muhammad, 47: 38)
“Wahai orang-orang yang beriman, siapa yang murtad di antara kalian dari agamanya maka niscaya Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka (pun) mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalari Allah dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui’.”
(Qs. Al Maaidah, 5: 54)
Itulah perbedaan antara perhimpunan yang tidak ada ikatan dan tidak punya manhaj dengan jamaah yang diikat oleh nurani, perasaan, kecintaan, aturan, tujuan, sarana, pemimpin, prajurit yang tujuannya adalah Allah. Dan untuk itulah digulirkan gerakan perbaikan setiap individu agar menjadi takwa, pembentukan keluarga agar menjadi keluarga islami, dan pengarahan terhadap masyarakat agar di dalamnya tersebar nilai-nilai, prinsip-prinsip, akhlak, dan syi’ar-syi’ar Islam, dalam setiap sudut kehidupan.

sumber: http://beranda.blogsome.com